Rendra: Rakyat Hanya Jadi Kawula
Suara Pembaruan, 22 Juli 2001
„Kita ini bukan warga negara!“ seru Rendra, suatu siang. Tiba-tiba saja, penyair itu seperti seorang „pembangkang“. Tak cuma itu. Dia memang ingin mengajak seluruh rakyat membangkang.
Penyair yang dijuluki Si Burung Merak itu tak main-main. Ia benar-benar serius menyerukan „Gerakan Pembangkangan Warga Negara“ di TIM Jakarta, Rabu (19/7), bersama aktivis muda Eep Saefulloh Fatah. Dengan lantang, Rendra mengajak rakyat Indonesia mendukung gerakan tersebut. Ia memang mulai gerah dan gelisah. Kekalutan yang terjadi sepertinya akan berkepanjangan. Tidak ada jalan untuk mengatasinya, kecuali rakyat harus bangkit. Paling tidak ada kesadaran baru.
Sebagai negara, kata Rendra, Indonesia selalu dilanda kemelut. Kekuasaan menjadi rebutan karena tidak ada aturan yang jelas. Selama ini, peraturan-peraturan yang ada hanya didominasi kepentingan-kepentingan. Status warga negara hanya menjadi sekadar istilah. Akhirnya, rakyat Indonesia sebenarnya hanya manusia massa. Keadaan seperti ini sebenarnya bukan baru terjadi. Rendra mencatat, warga negara hanya diperlakukan sebagai manusia massa sudah sejak zaman Mataram. Pada zaman itu, rakyat Indonesia hanya menjadi kawula alias hamba sahaja.
Celakanya, keadaan seperti itu terus berlanjut. Pada zaman penjajahan Belanda, rakyat dipimpin pamong praja. Lalu dari masa Soekarno hingga Soeharto, rakyat masih dijadikan manusia massa atau manusia politik. Di masa revolusi, rakyat menjadi massa revolusi. Di zaman Soeharto, rakyat menjadi massa pembangunan. Hingga akhirnya di masa sekarang, rakyat menjadi massa reformasi.
„Pada hakikatnya, rakyat belum menjadi warga negara karena belum punya fasilitas untuk itu. Rakyat tidak bisa memilih wakil-wakilnya secara langsung. Dari lokal sampai tingkat nasional, mereka ini tetap dianggap sebagai manusia massa. Itulah keadaan manusia sekarang dipandang dari budaya,“ katanya.
Suara Rendra masih tetap lantang. Ia terus menggugah kesadaran orang. Baginya, seniman bukan hanya mengkritik lewat syair-syair. Jika perlu, seniman bisa saja turun ke jalan.
Menurut dia, krisis kemanusiaan terjadi karena rakyat memang tidak dianggap sebagai insan. Rakyat bukan pula warga negara. Oleh karena itu, rakyat sebenarnya tidak pernah menjadi subjek dari aktivitas elite politik.
„Kita telah hanyut seperti zombie. Kita bukan warga negara. Kita membius diri sendiri, kita membuat yang salah,“ kata Si Burung Merak itu.
Rendra berpendapat, rakyat Indonesia sebenarnya tidak punya wakil di lembaga perwakilan. Lembaga perwakilan yang ada saat ini cuma lembaga perwakilan partai dan bukan lembaga perwakilan rakyat. Rakyat dihargai sebagai massa. Mereka disuruh-suruh untuk mendukung partai dan menentukan wakilnya.
„Kita compang-camping karena konstitusi. Sejak kita memasuki zaman modern, kita tidak mempunyai konstitusi yang mendorong atau yang memfasilitasi rakyat menjadi warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap belum sempurna karena dibuat oleh ahli hukum tamatan sekolah penjajah yang tidak memahami masyarakat,“ kata Rendra.
Ia menyebut „Gerakan Pembangkangan“ bukan diibaratkan seperti obat batuk. Sasaran gerakan ini adalah kesadaran dan bukan menawarkan jalan pintas. Gerakan itu bukan seperti jalan pendek atau terobosan, melainkan kerajinan jiwa. Diakui, ada elite yang menawarkan jalan pintas, seperti pergantian presiden atau perombakan dewan. Namun, ia menilai hal itu tidak akan efektif.
UUD 1945, kata Rendra, sudah diperingatkan oleh pembuatnya sebagai undang-undang sementara. UU tersebut akan diubah dan disempurnakan sambil berjalan. Tetapi dalam perkembangan, lebih dari 50 tahun, UU tersebut juga belum diubah. Elite politik tidak juga sadar. Mereka yang mengatur berdasarkan kekuatan, justru bisa disebut anarki.
Rendra mengaku keberatan dengan sekelompok elite yang bermaksud mempertahankan UUD 1945. Seharusnya, UUD tersebut tidak boleh dilestarikan apalagi disakralkan. Dia juga menyatakan keberatan dengan menteri atau presiden yang seenaknya membuat peraturan.
Dari segi kebudayaan, Rendra menilai keadaan yang berantakan saat ini terjadi karena tidak ada aturan main yang jelas. Maka, Rendra mengaku sangat setuju dengan gerakan tadi.
Lepas dari pretensi apa pun, gerakan pembangkangan itu tentu juga mengandalkan pengaruh dan kharisma seorang Rendra. Tetapi, Rendra tak sendiri. Selain Eep, hadir pula aktivis Pipit Kartawidjaja, pengamat sosial Doly Siregar, dan seniman Edi Haryono. Tentu saja, mereka masih membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin bergandeng tangan. (U-5)