Pemuda jerman berambut kriting dan berkumis itu selalu ramah dan berkata ”selamat malam” apabila dia selesai belajar bahasa indonesia dari ruangan depan dan melewati kami yg sedang sok sibuk membuat klipingan berita dari indonesia untuk disebar di Berlin ini.
Setelah beberapa kali bertemu, saya tahu namanya, Alexander Flor, mahasiswa TU yg sedang kuliah technik lingkungan.
Alex, begitu kami memanggilnya ternyata sangat antusias untuk ikut bergabung dengan kami mendirikan organisasi persahabatan jerman -indonesia DIG ( Deutsch Indonesische Gesellschaft ev.)..Memang waktu itu sudah ada beberapa dig lainnya di jerman barat, tapi mereka adalah gabungan orang jerman bapak bapak dan emak emakyg tertarik dng masalah indonesia dan orang orang kedutaan´. Kami di Berlin membuat persahabat jerrman indonesia yg agak lain, antar mahasiswa indonesia dan mahasiswa jerman, seperti Alex ini.
Dalam setiap rapat, Alex selalu hadir dan rajin menjadi notulen.
Waktu di Timor Leste ada pembantaian, tepatnya di kuburan santa cruz, kami DIG ingin menggelar video yg sempat dibikin secara sembunyi sembunyi oleh wartawan Australia dan Belanda. Ada rapat sebelumnya di DIG, sebagian, baik jerman maupun indonesia tidak mau dan yg lainnya tidak takut, Alex termasuk kedalam kelompok yg tidak takut Supaya anggota DIG lainnya merasa ”aman” akhrinya kami memutuskan menggelar acar itu dengan nama ”Watch Indonesia”..kenapa bukan indonesian watch ?. Saya males bercerita.
Nah setelah adanya Watch Indonesia ini Alex semakin rajin..begitupun dng bahasa indonesianya yg semakin bagus. Dia sanngat aktiv ikut membesarkan organisasi ini. Singkat cerita Alex sejak awal ada di Watch Indonesia.
Kami sering bepergian bersama untuk ikutan beberapa seminar atau rapa di kota lain, salah satunya di Iserlohn, kota kecil di Jerman Barat..setelah acara resmi biasanya kami ngobrol sambil ngopi atau minum bir dng peserta lainnya, beberapa orang ada yg bertanya kepada saya dan Alex, apakah mereka boleh menggunakan nama Watch Indonesia apabila mereka melakukan aksi solidaritas untuk timor timur ( timor leste), Aex menoleh ke saya, bagaimana ?- saya sih boleh boleh saja dan Alexpun setuju, maka berdirilah di Jerrman barat ”Watch Indonesia sektion Ost Timor”.
Jadi waktu si Suharto masih berkuasa di Indonesia, kami di Berlin ini ikut mendukung semua gerakan kawan kawan yg muak dng kekuasaan orba ini, baik di Indonsia maupun tempat lainnya di dunia ini.
Begitupun ketika Habibi yg di Indonesia sampe saat ini dianggap orang baik bertindak menjadi mekelar pembelian kapal perang bekas dari jerman yg sudah bersatu, kami melakukan aksi protes, kami pergi ke Pennemunde, dimana kapal itu diparkir sebelum dikirim ke indonesia. Alex seneng sekali waktu kami naik ke salah satu kapal dan entah apa yg Alex bawa sbg kenang kenangan dari sana. Karena aksi ini, ada beberapa peserta, dari organisasi lainnya ( wolfpelz, anti krieg anti fasis dari leipzig) ditangkap polisi dng tuduhan menghina mentri pertahan jerman ( mereka bikin poster, ”orang ini ikut bertanggunh jawab akan permbunuhan di timor timur ). Persidangan di gelar di kota Halle. Kamipun, saya dan Alex naik taksi ..ha..ha..ha ( almarhun Sunarto, exil Indonesia yg juga anggota Watch Indonesia, pekerjaaannya punya taksi). Di sana ada beberapa wartawan televisi Jerman yg meliput. Salah seorang wartawan itu berkata kepada saya : ”der da, dein landsman, kann ja sehr gut deutsch sprechen, nicht wie du / itu temanmu senegara, koq bahasa jermannya bagus sekali, tidak seperti kamu …” yang mana tanya saya..si wartawan nunjuk Alex sambil berkata ; dia kan juga orang indonesia ??. saya jawab ; iya.
Begitupun ketika kami diundang peluncuran buku di Belanda, kami naik taksi dari jerman sampai kesana..ha..ha, Alex duduk di depan sebelah Narto, saya di belakang. Sampai di tujuan, saya terbangun oleh percakapan antar Narto dan Alex : Kamu tahu dimana alamatnya Suhaemi ?- Iya. ..lha, koq dari tadi kita muter muter terus, kamu nggak catat alamat itu ? kata Alex. Narto ( dng bangga) : ‘ jaman perjuangan kami tidak boleh membawa dokumet, kalau ketangkep musuh bisa berabe..” . Alex : ”pantesan kalian kalah oleh suharto…ha..ha..ha”
Arrgh..banyak sekali cerita ttg Alex ini..saya nggak kuat lagi..sedih..dia ke surga
duluan…
Asep
******************
Selamat jalan Alex Flor sahabat yang trus menyuarakan suara korban ketidakadilan di Indonesia semoga beristirahat dengan damai.
Duka kami atas kehilangan ini.
Suciwati
Pendiri Museum HAM Munir
******************
Mendapat WA dari Dee Hasyim, tentang kepergian seorang sahabat, Alex Flor, terasa tidak percaya. Saya lihat FBnya Dina Sihombing, istri Alex, ya ternyata Alex sudah pergi selamanya. Alex adalah salah seorang sahabat selama saya kuliah di Berlin. Alex lah juga yang pernah mengajak saya untuk duduk menjadi Pengurus Yayasan Watch Indonesia, sebuah LSM berbasis di Berlin, yang sangat kritis atas Indonesia. Alex memimpin LSM ini dan seorang tokoh penting untuk isu-isu Indonesia di kalangan NGO Jerman yang punya concern tentang Indonesia. Alex seorang pribadi yang menarik dan juga sahabat yang baik. Dari Alex juga saya belajar banyak tentang bagaimana politik dan dinamika Jerman. Selamat jalan Alex.
Syafiq Hasyim
******************
Sungguh terkejut mendapatkan berita duka ttg meninggalnya kawan kita Alex Flor (pendiri Watch Indonesia) pada hari Kamis minggu lalu, karena pendarahan otak. Semua yg terbaik dari Almarhum sebagai pegiat HAM dan lingkungan hidup, terutama kepeduliannya terhadap Indonesia, akan dikenang generasi penerusnya.
Terimakasih Bung Alex, beristirahatlah dengan tenang dalam kedamaian abadi 🙏
Arif Harsana
******************
RIP bung Alex Flor. Mengejutkan dan menyedihkan mendengar ke pergian bung ke dunia baru.Semoga bung berbahagia. Aku merasa masih mendengar suara bung waktu pertemuan terakhir di Berlin. Selamat jalan.
Putu Oka Sukanta
******************
‚Watchies’
Alex seseorang dari begitu sedikit orang yang secara konsisten dan integritas memberikan waktu berharganya dengan terus memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Kuyakini kepergianmu memberi bekas kehilangan yang sangat di banyak tempat.
RIP Alex Flor… Mulianya segala yang telah kau lakukan untuk Indonesia…
telah menempatkan -Matamu, Hatimu dan Pikiranmu pada Indonesia karena kecintaanmu pada Nusantara di sana.
Satu diskusi yang tidak pernah saya lupa denganmu adalah cerita tentang buah tomat dari Medan. Obrolan santai yang menyenangkan di tepi sungai Main, Frankfurt di hari terakhir Frankfurt Book Fair tahun 2015.
Saat itu saya sedang belajar mendirikan organisasi nirlaba di Hannover, bersama rekan-rekan seperjuangan. Darimu, banyak perspektif lain yang bisa saya pelajari.
Walaupun kita hampir tidak pernah sependapat, satu hal yang saya tau pasti kita sejalan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus ditegakkan, diperjuangkan, dan dirawat.
Selamat jalan dengan damai Alex.
Aci Siddharta
APII Jerman
Mian Manurung
Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia Office
Ganz im Gegenteil, Alex war immer engagiert. Ich würde ihn selamat jalan wünschen, wenn ich denn an ein Jenseits glauben würde. Das tue ich nicht, aber ich würde es ihm von ganzem Herzen gönnen. Das was ich weiß ist nur, dass ich hoffe, dass seine Art zu denken im Denken anderer weiterlebt: Missstände klar zu sehen und zu benennen mit einem Humor, der nichts beschönigt und dennoch zum Ausdruck bringt, dass das, was ist, nicht alternativlos ist, dass es sinnvoll ist für etwas einzustehen, auch wenn man auf verlorenem Posten steht.
Erinnerungen an Alex Flor.
Es ist schwer zu begreifen, dass Alex nicht mehr da ist. Schon sein Weggang von Watch Indonesia war für mich als Außenstehende nur schwer zu verstehen. Aber der endgültige Abschied ist nochmals etwas ganz anderes.
Ich kann mich gar nicht mehr erinnern wie, wann und wo wir das erste Mal Kontakt hatten, aber das geht bestimmt in die Anfangszeiten von Watch Indonesia Anfang der 9oer Jahre zurück. Wir kamen zu der Zeit mit unserer Familie von einem dreieinhalbjährigen Aufenthalt aus Jakarta, das geprägt war von der bleiernen Suhartozeit zurück. Wir haben begierig die Informationen und das Angebot von Watch Indonesia aufgegriffen. Wir sind uns nicht oft real begegnet, aber ich habe Alex immer als Eiche, als Stütze, als pohon beringin von Watch Indonesia wahrgenommen und wir hatten immer wieder Kontakt. Ich habe Alex als äußerst freundlich, hilfsbereit, umsichtig und kreativ erlebt.
Einmal hat er einen kleinen Artikel über mich in unserer Lokalzeitung bei seiner Presserecherche ausfindig gemacht, wahrscheinlich weil dort der Begriff Indonesien vorkam, und hat mir gleich geschrieben. So kamen wir wieder in Kontakt.
Als hervorragender Kenner und Experte der Situation in Indonesien, hat er hochengagiert den Finger in die Wunden gelegt und auch unangenehme Wahrheiten ans Licht gebracht oder thematisiert. Ich habe seine Beiträge sehr gerne gelesen, weil ich mich danach umfassend informiert fühlte.
Selamat Jalan und herzlichen Dank für Alles
Hildegard Wenzler-Cremer, Freiburg
Lieber Alex.
Wir haben uns drei Jahrzehnte lang gekannt, und ich war immer zutiefst beeindruckt von deiner großen Engagement für Menschenrechte in Indonesien und Ost Timor, wie auch für viele andere lobenswerte Tätigkeiten.
So traurig dein plötzliches Ausscheiden aus unser Leben ist, so mehr wünsche ich dir: Ruhe in Frieden in einer verdienten besseren Welt.
Dein Waruno
******************
Moritz Kleine-Brockhoff
******************
Wann immer ich anlässlich meines früheren Engagements zu West Papua und Papua Fragen hatte, konnte ich mich an Alex wenden und traf dabei auf einen Charakter, der meine Anliegen ernst nahm und dabei zugleich menschlich, kompetent und engagiert war und mir sein Wissen zur Verfügung stellte. Es tut mir weh, dass er nicht mehr da ist und daran merke ich jetzt, wie wichtig er für mich war.
Indonesia sondern hat auch wesentlich dazu beigetragen, dass wir uns innerhalb der
Bundesrepublik und darüber hinaus kennen lernen und vernetzen
konnten. Dies alles mit großem persönlichen Einsatz. Und nein, er war
nie einfach. Es gab viele gute und viele schwierige Momente. Ich
wünsche ihm, dass er auch in der der Zeit nach seiner Trennung von
Watch Indonesia Frieden finden konnte.
Wuppertal
Das sollte nicht geschehen! Ich bin sehr traurig und schockiert. Alex kannte ich eine gefühlte “Ewigkeit” in Bezug auf Indonesien. Wir waren ständig im Austausch miteinander. Ich hatte immer erwartet, ihn zu treffen. Und er hatte ebenso immer erwartet, mich zu treffen. Allerdings, in der letzten Zeit waren die Begegnungen seltener geworden. Nun ist er von uns gegangen! Neben meiner tiefen Trauer spreche ich seiner Frau, seinen Eltern und der weiteren Familie mein Beileid aus!
In Trauer,
Karin Dewitz
******************
Das sind ja schockierende Nachrichten, dass Alex tot ist. Erst gestern hatte ich gedacht, dass ich fast nichts mehr von ihm gehört habe, seit er bei Watch aufgehört hat. Was er wohl jetzt macht, habe ich mich gefragt, kann er überhaupt loslassen? In der Pandemie bekommt man von vielen Menschen leider nicht mehr so viel mit und ich dachte, das ändert sich hoffentlich bald. Aber doch nicht so!
Ich habe Alex etwa 1990 kennen gelernt, damals hatten wir in der Asien AG der Stiftung Umverteilen die ersten Anträge aus Indonesien bekommen und deshalb habe ich mich mit ihm beraten. Seitdem war er stets ein sehr geschätzter Ratgeber, Gesprächspartner und zugleich jemand, mit dem ich offen sprechen konnte und der ebenso offen antwortete und nicht taktierte, sondern Widersprüche und Unklarheiten aushalten konnte, dabei aber auch Humor hatte, zugleich ein wandelndes Lexikon war und auch noch mitten in der Nacht E-Mails oder Anrufe beantwortete. Dabei schaute er über den eigenen Tellerrand, war interessiert an Entwicklungen in anderen Ländern und kritisch zur hiesigen Politik eingestellt, aber auch hierzu gut informiert.
Manchmal habe ich mich gefragt, ob er mit Indonesien verheiratet ist und ob ihm das eigentlich gut tut, ob er nichtmal Abstand braucht oder vielleicht auch an Entwicklungen in dem Land leidet. Mir selbst hat es gutgetan, mich von den Entwicklungen in den Philippinen emanzipieren zu können und mich stattdessen mit anderen Ländern zu beschäftigen. Aber da muss wohl jeder seinen eigenen Weg und Frieden mit finden.
Ich wünsche Alex, dass ihm dies gelungen ist. Ich hatte schon wenig von seinem Abschied bei Watch mitbekommen, deshalb kann ich das gar nicht beurteilen. Als späterer Journalist, der oft schnell eine Einschätzung oder ein druckfähiges Zitat braucht, war ich sehr dankbar für Alex’ Wissen, seine Analyse- und Ausdrucksfähigkeit. Doch fehlt er nicht nur als Experte und NGO-Aktivist, er war auch ein angenehmer Mensch mit viel Geduld, der auch einfache Dinge des Lebens genießen konnte, sich aber nicht in den Vordergrund spielte und stets unprtätentiös, aber an der Sache interessiert war. Ein großer Verlust!
Sven Hansen, Asien-Redakteur der taz
******************
“Obwohl zum Innehalten die Zeit nicht ist, wird einmal keine Zeit mehr sein, wenn man jetzt nicht innehält …” (Christa Wolf)
Lieber Alex,
unsere ersten Begegnungen sind rund 20 Jahre her. Ich war Volontärin bei der taz und konnte aus meinem WG-Zimmer über den Landwehrkanal zum Büro von Watch Indonesia! schauen. Ich war beeindruckt von diesen Treffen im Watch- Büro, von den vielfältigen gedanklichen Perspektiven und Begegnungen, die sie mir eröffneten. Beeindruckt war ich auch von dir und deiner Lebendigkeit, die sich in deinem wachen Blick und deinem unverwechselbaren Alex-Lachen, das so oft aus dir heraus hüpfte, zeigte. Beeindruckt von deinem immensen Wissen, dass du immer gern geteilt hast, beeindruckt von deinem unermüdlichen Einsatz bei und für Watch Indonesia!
Ich habe damals nicht sofort „ja” gesagt, als Moni und Du mich fragten, ob ich nicht aktives Watch- Mitglied werden wolle. Journalisten sollten neutral sein, hatte man mir während des Studiums eingetrichtert. Was für eine absurde Anforderung, neutral zu sein in einem System, in dem für den Profit einiger Weniger unsere natürlichen Lebensgrundlagen geopfert werden und in dem nicht alle Menschen die gleiche Chance auf ein gutes Leben haben. Diese Erkenntnis setzte sich bald durch und so folgten viele Jahre des gemeinsamen Engagements bei Watch Indonesia!
Der Generationenwechsel bei Watch in den letzten Jahren war nicht leicht: nicht für dich, nicht für dein persönliches Umfeld, nicht für den Verein. Du fehlst, dein Einsatz fehlt, deine scharfsinnigen Analysen fehlen. Dein Lachen fehlt. Und ich bedaure, dass ich mir zu deinen Lebzeiten nicht die Zeit genommen habe, dir das noch einmal zu sagen. Ich bedaure, dass für dich und den Verein zuletzt keine gemeinsamen Wege mehr gefunden werden konnten.
Und es ist das, was ich gerade in diesem Moment der Trauer und des Innehaltens für die Zukunft mitnehme: Dass wir uns nicht in dem verlieren sollten, was uns trennt. Sondern uns auf das besinnen und uns in dem stärken sollten, was uns vereint. Dafür möchte ich mir mehr Zeit nehmen, Zeit zum Innehalten, Zeit zum Mitfühlen, Zeit zum gegenseitigen Verstehen…
Rest in power and in peace, Alex….
Anett Keller
******************
Mit großer Bestürzung und Traurigkeit habe ich die Nachricht über Alex Flors schwere Krankheit und seinen plötzlichen Tod gelesen.Ich möchte Euch und all seinen Hinterbliebenen mein tiefstes Mitgefühl und Beileid aussprechen.Ich hatte Alex im Rahmen des Ehrengastauftritts von Indonesien bei der Frankfurter Buchmesse 2015 kennengelernt. Während der Vorbereitungen zum Ehrengastauftritt hatten wir uns einige Male in Berlin und Frankfurt getroffen und er war uns immer mit seinem großen Wissen und seinem unbändigem und kompromisslosen Engagement in Menschenrechts- und Umweltfragen ein sehr wichtiger Partner, Berater und Orientierungshilfe. Ich habe seine Arbeit, sein Wissen, aber auch sein Commitment und Tatendrang sehr geschätzt und unheimlich viel von ihm gelernt.Den Newsletter von watchindonesia habe ich auch Jahre nach dem Ehrengastauftritt immer interessiert verfolgt und hoffe sehr, dass Ihr diese tolle, engagierte und wichtige Arbeit fortführt und seine Energie Euch weiterhin ein Motor und Inspiration bleibt.
******************
Es war um 1990 herum, als ich ersten Kontakt mit Alex hatte. Mit ihm und Pipit saßen wir zusammen und haben uns über die damals kritische Situation in Indonesien, in Ost-Timor ausgetauscht. Es waren lebhafte und anregende Begegnungen vor dem Hintergrund, dass Watch Indonesia! als NGO den verbotenen, verlorenen, vergessenen Stimmen des indonesischen Archipels im deutschsprachigen Raum Gehör verschaffen wollte. Die Vernetzung mit anderen engagierten und aktiven Organisationen war angezeigt – und so entwickelte sich eine enge Zusammenarbeit mit der Deutsch-Indonesischen Gesellschaft in Köln.
Probleme der Menschenrechte, demokratischer Strukturen, soziale, ökologische wie ökonomische Fragen und auch kulturelles Engagement boten ausreichend Themen und Anlässe für unterschiedliche Initiativen und Programme – hier und auch in Indonesien. Publikumswirksame Aktionen wie aber auch vertrauliche Hintergrundgespräche und persönliche Verbindungen waren über Jahrzehnte Basis für eine erfolgreiche Arbeit. Die Vernetzung vieler Kontakte waren ein Kernstück der Anstrengungen, die Alex geschickt organisierte. Sowohl im bilateralen Zusammentreffen als auch in den über viele Jahre ausgerichteten Treffen deutscher NGOs zu Indonesien und Timor oder Papua wurden Informationen ausgetauscht, Zusammentreffen vermittelt, Aktionen vor- und nachbereitet.
Wortgewaltig, leidenschaftlich, kenntnisreich, mit Witz und Schlagfertigkeit sowie enormem Fleiß ist Alex der Motor einer Vielzahl von Unternehmungen gewesen. Ja, auch streitlustig und kontrovers ging es dabei oft zu; manches Salz wurde in die Suppe zu gleichgültigen oder harmoniesüchtigen Auseinandersetzungen gekippt. Er verkörperte eine unüberhörbar klare Haltung. Professionelle Analysen und mutige Thesen kennzeichneten die feste Überzeugung im Einsatz gegen Ungerechtigkeiten, Benachteiligungen, Abgestumpftheit. Etwas sagen oder machen zu müssen, war die Triebfeder für ihn. Kontroversen bleiben dabei nicht aus. Gleichwohl hat er zielgerichtet und ehrlich die Ideen verfolgt, die er in privaten und öffentlichen Veranstaltungen mit der Rückendeckung des Teams von Watch Indonesia! realisieren konnte. So auch in der Zeitschrift Suara und vielen anderen Veröffentlichungen (wie z.B. in Jungle World).
Die DIG hat eine Reihe von Programmen in Köln mit ihm durchgeführt oder war Partner in Konferenzen und Seminaren von oder mit Watch Indonesia! Wir bedauern und beklagen den Verlustdurch den Tod von Alex. Die Kooperation ist eine Bereicherung gewesen. Unser Beileid gilt der Familie.
Eine persönliche Anmerkung noch: Alex ist bei seiner Eheschließung mit Dina Sihombing dem traditionellen Ritual der Batak aus Nordsumatra gefolgt und von der Marga der Nababan adoptiert worden. Auch ich bin durch Hochzeit ein Batak geworden – Marga Pardede – und grüße Lae Alex mit H o r a s !
Karl Mertes
Deutsch-Indonesische Gesellschaft e.V.
******************
Dear colleagues,
langjährige Beziehungen zu sozialen Bewegungen in Indonesien eröffneten.
Ich denke, anderen hat er ähnliches ermöglicht.
aufgebaut, was wir weiterführen können. Es ist an uns, für
Gerechtigkeit an Mensch und Natur zu kämpfen – und sei es nur mit einem
Teil seiner Hingabe, seiner Leidenschaft und seines scharfen Verstandes.
ALEX, mir fehlen die Worte, es schmerzt, Dich nicht mehr treffen und
hören zu können. Mein Beileid an alle Deine Lieben und
MitkämpferInnen. Salam, HORAS, selamat jalan, ALEX! Christine Schreiber
vom Sidihoni VerlagIch selber kenne Dich seit den frühen 90ern. Mein Weg: Erster
Aufenthalt in Indonesien 1982; später lange dort gewesen für
verschiedene Feldforschungsaufenthalte. Jedoch unter welchen Umständen!
Im Studium links-politisch aktiv, registriert in einem Bundesland, das
den “Radikalenerlass” herausgebracht hatte unter Filbinger. Keine
Chance, ein Forschungsvisa in Indonesien vor solch einem Hintergrund
unter Suharto zu bekommen. Alles self-made self-financed damals….
Angst, IndonesierInnen durch die eigenen Aktivitäten zu gefährden….
Angst, als das Land unter Suharto zerbrach vor dem was folgen
könnte…. damals gab es kaum jemanden, um sich auszutauschen in
Deutschland… aber doch, es gründete sich Watch Indoesiea! mit Dir,
Alex und einigen MitstreiterInnen der ersten Stunde. (Ich denke an
Gertrud und Rolf). Unsere Treffen bei Seminaren der VEM und anderen
Trägern waren eine klasse Vernetzung in den ersten Jahren und ein
toller Rückhalt. Allmählich sickerten unsere Themen durch in die
anderen NGOs und in die Gesellschaft. Alex, es ist knapp 30 Jahre her
und Du hast die politische Landschaft in der BRD geprägt. Gute
Vernetzung in alle Richtungen, Watch! ist heute ein FAKT, danke an alle
MitstreiterInnen!Ich selbst habe den Sidihoni-Verlag gegründet, meine Themen und
berufliche Orientierung fanden andere Schwerpunkte, manchmal lehnte ich
mich nach hinten und dachte, ach toll, die von Watch sind dran… die
machen das schon, so auch die LGBT Unterstützung…. gut zu wissen,
dass eine NRO einfach gut arbeitet, aber falsch, die Hände in den
Schoß zu legen. Nun sind WIR dran, weiterzuführen was Not tut. Du hast
eine super Basis gelegt für all unsere zukünftigen Aktivitäten, Danke
Dir, Alex.
Ruhe in Frieden. Ich weine, Du fehlst. Als Mensch, als Kämpfer und als
humorvoller, spritziger Geist. Komet des Wissens – mit einem Lächeln
und einer Kretek in der Hand.
Werk weiter gedeihen, möge Gerechtigkeit zunehmen. Salam anak nakal!
es ist schwer zu verstehen, dass Du nicht mehr da bist. Ich weiß nicht mehr, wann wir uns das erste Mal begegnet sind. Aber Deinen Namen kannte ich gefühlt schon immer – schon bei meinen Eltern gab es die Suara. Wir haben uns dann an den verschiedensten Orten, zu unterschiedlichsten Anlässen, in den verschiedensten Rollen getroffen – mal verabredet, oder weil wir die gleichen Leute kannten oder auch mal ganz zufällig, zum Teil beruflich, aber spätestens bei kretek oder einem Feierabendbier auch immer persönlich. Und immer wusste ich, dass Du erreichbar bist, dass Du jederzeit und mit überwältigender Selbstverständlichkeit und Integrität bereit warst, Dein Wissen, Deine Gedanken und Einschätzungen, Deine Zeit zu teilen. Danke für all die fröhlichen Begegnungen und intensiven Gespräche, für die partnerschaftliche Zusammenarbeit und Deine Zuverlässigkeit. Salam damai dan selamat jalan Alex.
in die letzte Tiefe einarbeiten und es verstehen, egal ob politische
Zusammenhänge oder die EDV bei WatchIndonesia! Buchhaltungssoftware
wurde im Zweifelsfall lieber programmiert als gekauft, damit auch jede
Formel transparent nachvollziehbar ist. Er hatte ein unermessliches
akkumuliertes Wissen über politische Zusammenhänge, handelnde
Personen, Prozesse und Wendepunkte in Indonesien. Vertiefung und
Austausch erfolgte am liebsten in endlosen Debatten bei Bier und
Kreteks. Ein 24-Stunden-Tag reichte ihm oft nicht und so verlängerte
sich die Kernarbeitszeit in der Regel bis nach Mitternacht. Gesund war
das sicher nicht, aber das musste bei ihm so sein.Wenn man nicht über Indonesien sprach, konnte man auch über Umwelt-
und Weltpolitik im Allgemeinen mit ihm philosophieren. Bis spät in die
Nacht – wann sonst – haben wir auch schon mal über Israel und den
Nahen Osten debattiert.
sehr Du mich durch Deine Arbeit mit den MENSCHEN in Indonesien vertraut
gemacht hast.Obwohl wir uns nur flüchtig persönlich gekannt haben, hat mich Dein
lebendiger Einsatz, mit Deiner ganzen Person, tief beeindruckt. Dein
Engagement und Deine profunden Infos haben mir geholfen, zwischen den
Menschen in Indonesien und ihren vielfältigen Kulturen einerseits und
den machtbesessenen Apparatschiks andererseits zu differenzieren.
glauben. Alex, Du hast uns verlassen. Nicht nur unsere gemeinsame Liebe
zu Indonesien und vorallem zu seinen Menschen verband uns. So manche
Raucher-Pause bei Konferenzen, Netzwerk-Meetings und anderen
Veranstaltungen nutzten wir zu intensiven Gesprächen, zusätzlichem
Informationsaustausch, witzigen Dialogen und humorvollen Diskussionen.
All das und vorallem Dich werden wir vermissen.
werde die animativen und scharfsinnigen Diskurse mit dir vermissen. Du
warst ein engangierter und guter Mensch.