Kunjungan kenegaraan Presiden Indonesia
Informasi dan Analisis, 20 April 2016
Kanselir Merkel dan Presiden Gauck menuntut Indonesia menegakkan HAM dan prinsip negara hukum
Pada saat Presiden Jokowi mencoba untuk mendorong terjadinya perubahan, cara-cara Orde Baru masih terus dipraktikkan di KBRI Berlin
oleh Alex Flor
„Hormat saya yang mendalam untuk apa yang sudah dicapai (Indonesia) sampai saat ini. Dan kami akan melakukan kerja sama yang erat dalam persoalan-persoalan yang masih memerlukan penyelesaian yaitu persoalan jaminan hukum, hak asasi manusia, dan sistem hukum. Semua persoalan tersebut merupakan amanat yang besar, di mana kami akan terus melakukan pertukaran.“ Melalui kata-kata tersebut Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengakhiri kesimpulannya mengenai hasil pembicaraan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo dalam konferensi pers bersama pada tanggal 18 April di Berlin.
Bahaya yang terjadi akibat meluasnya penebangan hutan tropis juga dibicarakan. „Saya mendorong presiden Joko Widodo untuk mengambil jalan yang tidak mudah ini yaitu mengembangkan pertanian dan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan melindungi alam“, jelas Kanselir Merkel. Terkait situasi hak asasi manusia, disebutkan bahwa kedua kepala pemerintahan juga bertukar pikiran secara intensif mengenai situasi di Aceh dan Papua.
Dalam pertemuan terpisah dengan Presiden Joko Widodo Presiden Jerman, Joachim Gauck, menuntut penghapusan hukuman mati. Khususnya, jika menyangkut hak asasi manusia, pemerintah kadang-kadang harus berada di garis paling depan, sebut Presiden Gauck. Pernyataan-pernyataan tersebut boleh dinilai sebagai keberhasilan kerja-kerja informasi dan lobby yang dilakukan secara terus menerus oleh berbagai organisasi hak asasi manusia dan lingkungan hidup di Jerman dan Eropa. Hampir seluruh tuntutan yang disampaikan dalam bentuk pernyataan terbuka dan demonstrasi oleh Watch Indonesia!, Amnesty International, Westpapua Netzwerk, Rettet den Regenwald, dan Robin Wood sebelum dan selama kunjungan kenegaraan tersebut dapat ditemukan di dalam pernyataan-pernyataan Kanselir dan Presiden Jerman.
Sayangnya, yang tidak disebutkan sama sekali dalam pembicaraan tersebut adalah tuntutan atas penyelesaian kasus pembunuhan massal tahun 1965/66, di mana 500.000 sampai satu juta anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya menjadi korban. Watch Indonesia! melihat bahwa pembantaian tersebut merupakan awal mula budaya impunitas yang sampai saat ini masih terus bertahan.
Wartawan-wartawan Indonesia dilarang untuk mengajukan pertanyaan yang terkait dengan peristiwa 1965 selama konferensi pers di Berlin. Sejumlah wartawan yang Indonesia dan perwakilan masyarakat Indonesia yang berdomisili di Jerman tidak diundang oleh KBRI Berlin ke acara temu presiden, bahkan ada yang secara terang-terangan ditolak kehadirannya.
Dari sejak dulu KBRI Berlin selalu melakukan segala upaya untuk mempertahakan cara-cara yang lazim dilakukan pada masa pemerintahan diktator Suharto. Ketika sebagian warga negara Indonesia yang dipilih oleh KBRI telah mendapatkan undangan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, KBRI Berlin menolak untuk memberikan informasi kepada Watch Indonesia! mengenai acara tersebut. „Kami tidak tahu-menahu tentang acara tersebut dan tidak bisa memberikan informasi“, demikian jawaban yang diberikan KBRI. Kedutaan juga mencoba untuk menutup-nutupi demonstrasi yang menyambut kedatangan Presiden Jokowi di KBRI Berlin. Jalan masuk gedung kedutaan dipadati sejumlah anak-anak muda yang dibayar untuk melambai-lambaikan bendera dan juga untuk menutupi suara-suara para demonstran. Wartawan-wartawan dari Indonesia yang datang bersama presiden juga dihindarkan untuk merekam atau menanyai para demonstran.
Tindakan KBRI Berlin bukan hanya sia-sia, tetapi juga sangat tidak perlu. Sehari sebelum demonstrasi dilangsungkan Presiden Joko Widodo dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung sudah menerima siaran pers Watch Indonesia! ketika berada di dalam pesawat menuju Berlin. Selain itu banyak di antara pendukung aksi tersebut adalah pemilih Jokowi. Protes mereka ditujukan untuk mengingatkan presiden akan janji-janijnya dan sesungguhnya merupakan bentuk dukungan terhadap Jokowi, yang di dalam pemerintahannya sendiri dikelilingi oleh-oleh orang yang menentangnya. Salah satu dari orang-orang tersebut adalah duta besar KBRI saat ini, Dr. Fauzi Bowo. Ia adalah mantan Gubernur Jakarta yang meskipun telah melakukan kampanye hitam kalah dalam pilkada Gubernur melawan Jokowi. Sebagai ganti ruginya diangkat oleh presiden terdahulu sebagai duta besar.