Pemilu 2019 Menghadapi Masalah Serius jika…
jpnn.com, 18 September 2016
http://www.jpnn.com/read/2016/09/18/468145/Pemilu-2019-Menghadapi-Masalah-Serius-jika…-
JAKARTA – Para penyusun Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu) diingatkan untuk menjadikan masalah alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi dan kemudian dibagikan ke setiap daerah pemilihan (dapil), sebagai prioritas utama pembahasan.
August Mellaz, Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), mengatakan, konteks keterwakilan dalam alokasi kursi DPR RI ke setiap provinsi berdasarkan prinsip kesetaraan/non diskriminatif atau biasa dikenal dengan istilah one person, one vote, one value (opovov), harusnya menjadi isu untuk dibahas pertama kali.
„Karena sebaik apapun sistem pemilu yang dipilih dan diterapkan, hasilnya akan tetap menciderai hak keterwakilan warna negara sebagaimana konstitusi mengamanatkannya,” ujar August Mellaz dalam diskusi bertema Konstitusionalitas dan Problematika Alokasi Kursi DPR RI Pemilu Indonesia, di Cikini, Jakarta, Minggu (18/9).
Pembicara lain Didi Achdijat, peneliti senior SPD bidang matematika pemilu dan Pipit R. Kartawidjaja, spesialisasi sistem politik dan sistem pemerintahan.
August mengatakan, dalam empat kali pemilu pasca reformasi, isu alokasi kursi DPR ini selalu luput dari perhatian para pembuat UU.
Menurutnya, kesalahan dan kekeliruan yang berujung pada pengabaian hak warga negara untuk diwakili di DPR, tidak pernah menjadi bahan evaluasi agar dilakukan perbaikan. „Bahkan, sejak pemilu 2004 pengabaian ini terus berlanjut hingga pemilu 2014.
Dia memberi contoh, pada pemilu 2004, prinsip Jawa-Luar Jawa, yakni alokasi kursi berdasar prinsip kepadatan penduduk, menghasilkan situasi harga kursi DPR dari Jawa lebih mahal dibanding luar Jawa.
Namun, lanjutnya, situasi tersebut bergeser sebaliknya pada pemilu 2014, dimana kuota kursi DPR justru lebih mahal luar Jawa.
Demikian juga penambahan jumlah kursi DPR pada pemilu 2009 menjadi 560 dari sebelumnya 550, tidak dilakukan alokasi kursi sesuai prinsip opovov.
„Secara arbitrer, mana suka, hanya 10 kursi yang dibagikan ke beberapa provinsi tanpa diketahui metode dan prinsip alokasi yang digunakan. Pencideraan prinsip kesetaraan/non diskriminatif dan ketimpangan kursi perwakilan antar provinsi yang harusnya diperbaiki dalam pemilu, tetap berlanjut hingga pelaksanaan pemilu terakhir di tahun 2014,” ujar August.
Ditekankan, untuk pemilu 2019 mendatang, isu ini perlu mendapat perhatian serius. Bahkan, perlu menjadi prioritas dibandingkan pembahasan tentang sistem pemilu itu sendiri. Hal ini, lanjutnya, berangkat dari beberapa hal:
Pertama, agar penghormatan dan pemenuhan amanat konstitusi dapat terwujud.
Kedua, memperbaiki sekaligus memberikan remidi (memulihkan) hak keterwakilan kursi DPR RI di seluruh wilayah NKRI.
Ketiga, menyediakan mekanisme kursi DPR yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara politik (legitimasi) maupun berbasis konsep (ilmiah).
„Ketiga aspek tersebut mendapatkan momen penting pada pelaksanaan pemilu 2019 mendatang, di mana penyelenggaraan pemilu, baik memilih anggota legislatif dan memilih presiden/wakil presiden akan dilakukan secara serentak,” ulasnya.
Diingatkan, jika tidak dilakukan perbaikan, maka momen pemilu 2019 akan menghadapi masalah serius. Di mana „pertumbukan” antara prinsip non opovov (pemilu legislatif) dengan prinsip opovov (pemilu presiden/wakil presiden), akan terjadi.
Situasi ini, lanjutnya, akan berdampak pada potensi munculnya konflik kelembagaan antara lembaga kepresidenan (eksekutif) dengan DPR (legislative), di mana legitimasi presiden terpilih yang berasal dari dukungan pemilih (popular vote) tidak mencerminkan dukungan kursi di DPR yang berguna bagi efektifitas roda pemerintahan.
„Contoh, hasil pemilu 2014. Koalisi partai pendukung presiden terpilih meraup 41 persen suara, namun penguasaan kursi di DPR hanya 36 persen kursi,” terangnya.
Karena itu, SPD merekomendasikan agar alokasi kursi DPR dilakukan ulang dengan berdasar prinsip opovov agar berkesuaian dengan prinsip opovov yang dianut dalam pilpres.
Preseden ini sebelumnya pernah terjadi pada pemiu 1955, dimana alokasi kursi DPR ke setiap provinsi didasarkan pada prinsip opovov. Bahkan, pada tingkat yang mendekati sempurna. (sam/jpnn)