Mari Kembali ke Humor
Kompas, 17 September 2016
Oleh DARMINTO M SUDARMO
Indonesia darurat humor, benarkah? Setidaknya itu yang „tercium“ dari motif mengapa penyelenggara mengadakan „Simposium Humor Nasional 2016“ dengan tema: Humor yang Adil dan Beradab pada 8 September 2016 di Jakarta.
Kekeringan rasa humor, kekeringan budaya, dan rasa seni, sebuah pemandangan yang dapat dilihat dalam kehidupan seharihari. Lihatlah komunikasi di tingkat elite dan penguasa, bahkan di masyarakat. Etika, apalagi estetika, seperti ramuan purba yang seolah tak perlu jadi rujukan lagi. Padahal, bangsa ini dikenal ramah dan halus budi pekertinya.
Suka atau tidak, banyak fakta menunjukkan kecenderungan bahwa bangsa kita belakangan ini lebih menyukai kekerasan, jalan pintas, dan memaksakan kehendak. Maka, tidak berlebilian apabila fenomena itu merupakan salah satu indikator bahwa bangsa kita seakan telah melupakan rasa humor, rasa seni, dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Tekanan hidup, beban hidup, harus diakui bagi sebagian masyarakat dirasakan berat Tidak heran apabila kemudian terjadi banyak peristiwa – baik di tingkat elite-penguasa maupun masyarakat umum – yang sulit diterima akal sehat Baik itu menyangkut kebijakan maupun persoalan-persoalan keseharian. Kegaduhan nasional, dalam makna tidak produktif, terjadi susul-menyusul. Haruskah bangsa ini terlena dalam kekisruhan dan menyerah begitu saja oleh tantangan berat di depan mata?
Bukan berarti humor satu-satunya jalan untuk pemulihan luka budaya yang sedang terjadi ini, tetapi setidaknya humor memiliki daya tahan yang unik dalam menghadapi kondisi penuh ketidakpastian. Seperti kita ketahui, humor ada di mana-mana Sudah sejak zaman dahulu kala humor masuk ke setiap sendi kehidupan. Humor digunakan untuk mengendurkan ketegangan, melepaskan stres, dan bentuk perlawanan. Bahkan, seorang Park Chung-hee (1917-1979), bekas pemimpin diktator Korea Selatan, pemah mengatakan, „Humor itu ibarat perlawanan, sudah upaya paling akhir.“
Humor juga bergerilya di beberapa bidang ilmu: dari mulai psikologi, sosiologi, sejarah, hingga politik. Humor selalu mendapat tempat khusus di kehidupan manusia. Namun, di sisi lain, kecenderungan bangsa kita belakangan ini lebih menyukai kekerasan, jalan pintas dan mèmaksakan kehendak. Maka, di sana selayaknya humor hadir untuk mengendurkan ketegangan dan kekakuan yang melanda.
Memang harus diakui, humor juga komoditas, tetapi humor juga bisa ilmiah. Namun, seperti apakah dan seberapa serasikah humor apabila berpadu dengan multidisiplin ilmu dan multiprofesi yang lain? Kiranya pemikiran- pemikiran ilmiah dari para ahli apabila dipersatukan akan mewujudkan humor yang berkeadilan dan berkeadaban. Karena humor yang baik adalah humor yang mencerdaskan dan membawa kebaikan.
Tentu bukan sesuatu yang mengada-ada apabila simposium humor diadakan. Maka, pembahasan difokuskan pada masalah agama, filsafat, budaya kuno, negara dan politik, serta psikologi dan komunikasi. Para penyaji rnateri adalah Pipit R Kartawidjaja; Deddy Gumelar (Mi’ing Bagito), Edi Sedyawati, Mohamad Sobary, Toeti Heraty, Sarlito Wirawan Sarwono, dan Daniel Dhakidae. Wimar Witoelar dan Sys Ns bertindak sebagai moderator, dengan perumus Radhar Panca Dahana dan pernyataan penutup Arswendo Atmowiloto. Jaya Suprana bertindak sebagai pembicara kunci.
Sekutu atau seteru?
Humor dan agama seperti minyak dan air, sulit bercampur. Apakah benar demikian atau nalar kita belum berani mencerna? Faktanya, dakwah sebagai media penyampai pesan surgawi sering menggunakan humor sebagai atribut pelengkap yang memudahkan umat lebih memahami pesan yang hendak disampaikan para cerdik cendekia Jadi, masihkah kita menganggap keduanya tak bisa bertemu atau keengganan kita mempertemukannya?
Humor dan filsafat, sekutu atau seteru? Filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu seolah menolak sejalan dengan humor. Rumitnya pemikiran para filosof seperti sulit ditembus humor. Padahal, humor merupakan alat jitu sebagai media penyampai pesan agar membuat sebuah pesan lebih mudah dipahami. Untuk itu perlu dipahami bahwa keduanya adalah sahabat, bukan musuh yang tak bisa bertobat, karena pada dasarnya humor bukan kuman pengganggu, melainkan oase di tengah gurun yang santun menunggu.
Humor dan budaya kuno apa relasinya? Apa yang teijadi saat ini adalah cerminan masa lampau. Begitupun dengan humor yang kehadirannya mengundang dahaga tanya dan hanya bisa diselesaikan dengan siraman fakta asal-usul. Untuk itu, tidak elok rasanya jika kita hanya menikmati buah manis humor tanpa tahu bagaimana dulu tanaman humor ini bisa hidup dan berkembang hingga kini.
Humor dalam negara, Alangkah Lucunya Negeri Ini adalah judul film besutan Deddy Mizwar yang dirilis April 2010. Namun, apakah bangsa ini sudah selucu itu, atau malah jangan-jangan lebih lucu dari itu? Seberapa lucu? Namun, apakah kelucuan itu menghibur atau malah sebaliknya? Jika mernang lucu, mudah-mudahan seperti materi komika dan bukan seperti luka fisik yang diderita para komedian slapstick.
Humor dalam politik? „Hati- hati terhadap lelucon politik, di dalam lelucon politik selalu terselip revolusi kecil“ (George Orwell). Kalimat ini membuktikan humor adalah sebuah bentuk perlawanan. Ketika negara seolah ingkar akan tugasnya, humor hadir untuk mengingatkan. Yang menarik adalah ketika negara ikut berhumor tanpa sengaja dan akhirnya negara lebih jenaka daripada jenakawannya
Humor dalam psikologi, jika badan ini gurun pasir yang luas, humor adalah oase yang dirindukan. Jika badan ini ruang yang tertutup rapat, humor adalah ventilasi kehidupan. Jika badan ini makanan, humor adalah bumbu kehidupan yang tak bisa dihindarkan.
Humor dalam komunikasi bukan sekadar yang penting tertawa. Untuk bisa mencapai ke sana perlu ada keseimbangan dan kesejajaran antara materi pesan, pengirim pesan, dan penerima pesan. Hidup tanpa humor seperti makan mi instan tanpa bumbu, mengenyangkan tetapi tidak menyenangkan.
DARMINTO M SUDARMO
Pemerhati Humor