Alokasi Kursi di Dapil Mesti Ditata Ulang
Metrotvnews.com, 09 Oktober 2016
http://news.metrotvnews.com/politik/0KvVnXpK-alokasi-kursi-di-dapil-mesti-ditata-ulang
oleh Arga Sumantri
Metrotvnews.com, Jakarta: Alokasi kursi dan peta daerah pemilihan (dapil) harus ditata ulang. Isu ini dinilai kurang mendapat perhatian eksekutif maupun legislatif. Padahal, Indonesia segera menyelenggarakan Pemilu 2019.
Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Pipit R Kartawidjaja menyatakan, penataan alokasi kursi di daerah baru mendapat porsi serius oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilu 2014. Hal itu dilihat dari Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 tahun 2013. „Namun, nyatanya berbagai permasalahan juga masih tetap terjadi,“ kata Pipit dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2016).
Pipit menjabarkan, masalah yang masih muncul dalam alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan ialah soal Malapportionment. Masalah itu terkait kesalahan alokasi kursi yang tidak menghormati populasi secara adil. Pipit mendapati masalah itu masih terjadi di beberapa provinsi.
Di Provinsi Papua, jatah kursi berkurang tiga, di Maluku berkurang dua kursi, Sulawesi Utara berkurang tiga kursi, dan Nusa Tenggara Barat berkurang satu kursi. Sementara itu, terjadi kelebihan alokasi kursi untuk Sulawesi Selatan dan Nangroe Aceh Darussalam.
Kesalahan alokasi kursi juga terjadi di Riau dan Kepulauan Riau. Dua wilayah itu mendapat kursi keterwakilan kurang dari jumlah penduduk seharusnya.
Kesalahan alokasi kursi DPR pun terjadi di Dapil Banten III. Semestinya, Dapil Banten III mendapat alokasi 12 kursi. Karena Undang-undang hanya membatasi setiap Dapil maksimal sepuluh kursi, kelebihan dua kursi sisanya diberikan ke Dapil Banten I dan II, dengan masing-masing mendapat tambahan satu kursi.
„Meskipun berdasarkan jumlah penduduk harusnya hanya berhak mendapatkan masing-masing lima kursi,“ ujar Pipit.
Selain alokasi kursi, peta daerah pemilihan juga dinilai masih bermasalah atau yang diistilahkan Gerrymandering. Pipit menilai, peta daerah pemilihan yang ada sekarang ini hanya menguntungkan pihak atau partai tertentu.
„Hal ini berdampak pada tidak terjaganya prinsip integralitas suatu wilayah, absennya kekompakan daerah pemilihan, atau peta daerah pemilihan dalam satu kesatuan yang utuh tidak dapat terpenuhi,“ beber dia.
Contoh permasalahan peta daerah pemilihan yang masih terjadi misalnya di Dapil Jabar III DPR. Di sana terjadi penggabungan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur.
Lalu di Dapil IX dan X untuk pemilihan DPRD DKI, Dapil IV pemilihan DPRD Kabupaten Yahukimo, yang melintasi tiga daerah pemilihan yang berbeda.
Masalah lainnya, kata Pipit, soal peta Dapil yang tidak homogen. Misalnya, Kotamadya dengan Kotamadya (Depok dan Bekasi), Kotamadya dengan Kabupaten (Surabaya dan Kab. Sidoarjo), dan Kabupaten dengan Kabupaten (Lamongan dan Gresik).
Ada juga pelanggaran ketentuan batas minimal dan maksimal, 3 sampai 12 kursi Dapil. Itu terjadi di pemilihan DPRD Kabupaten Taliabu.
Menurut Pipit, tidak terjaganya prinsip proporsionalitas atau kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan dalam satu wilayah administrasi pemerintahan, berakibat pada peluang yang tidak sama bagi setiap partai yang berkompetisi. Dia merinci masalah itu.
– DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, alokasinya empat, 10, dan 11 kursi). Dengan demikian muncul ambang batas terselubung antara 12,5 persen untuk Dapil berkursi empat, 4,5 persen untuk Dapil berkursi 10, dan 4,54 persen untuk Dapil berkursi 11.
– DPRD Kota Tomohon (alokasinya lima, enam, dan sembilan kursi) atau ambang batas terselubungnya masing-masing, 10 persen, 8,33 persen, dan 5,55 persen.
– DPRD Kota Pasuruan (alokasinya, empat, tujuh, dan 11 kursi), atau ambang batas terselubungnya masing-masing 12,5 persen, 7,14 persen dan 4,54 persen.
Rekomendasi terkait masalah alokasi kursi dan pembentukan peta Dapil
Pipit menjabarkan, atas sekelumit permasalahan yang dijabarkan tersebut, maka pembuat undang-undang, harus menjadikan persoalan ini pada porsi yang serius. Prinsip-prinsip utama alokasi kursi dan pembentukan peta Dapil yang tercantum dalam PKPU Nomor 5 tahun 2013 harus diadopsi dalam Rancangan Undang-undang (RUU).
„Agar prinsip penting tersebut ada di level Undang-undang,“ ungkap Pipit.
Kemudian, penggunaan basis data kependudukan untuk alokasi kursi dan pembentukan Dapil untuk DPR sampai DPRD Kabupaten dan Kpta, sebaiknya menggunakan data sensus. Lalu, agar prinsip-prinsip utama alokasi kursi dapat terjaga, maka mesti ditetapkan berdasarkan tingkat partisipasi pada hari pemungutan suara.
„Dengan demikian perolehan suara kursi partai politik dihitung secara nasional atau provinsi untuk kemudian dialokasikan ke Dapil,“ ujarnya.
Selain itu, lanjut Pipit, penataan alokasi kursi dan peta Dapil hendaknya juga memperhatikan struktur partai politik dan wilayah administrasi pemerintahan. Prinsip satu orang, satu suara, satu nilai, yang dianut dalam Pilpres juga harus menjadi dasar dalam Pileg.
Khusus untuk provinsi Papua, Maluku, Sulawesi Utara, dan NTB, kata Pipit, mesti dikembalikan kursi keterwakilannya yang pernah hilang. Terakhir, lantaran isu tersebut relatif baru dan perlu berbagai keahlian spesifik, mala perlu dibuka ruang bagi keterlibatan kalangan profesional untuk merumuskannya.
(OJE)