Penegakan HAM di Indonesia
Watch Indonesia! – Informasi dan Analisis, 17 Juni 2017
‚Tunggu kabar dari kami …‘ 1
Oleh Basilisa Dengen 2
Tahun ini Indonesia mendapatkan giliran untuk melaporkan situasi penegakan hak asasi manusia (HAM) di hadapan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pelaporan ini dilakukan dalam rangka mekanisme Universal Periodical Review (UPR), sebuah mekanisme berkala, yang mewajibkan setiap anggota PBB yang telah menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menegakkan HAM. Dalam sidang ini setiap perwakilan dari berbagai negara mendapatkan waktu satu setengah menit untuk menyampaikan kritik terhadap situasi HAM di Indonesia serta saran-saran perbaikannya.
Dalam sidang ini pemerintah Indonesia menyiapkan sebuah laporan yang sebelumnya diserahkan kepada sekretariat Komisioner HAM PBB (Office of The United Nations Commissioner for Human Rights, OHCHR). Selain menerima laporan resmi pemerintah Indonesia, OHCHR juga mengundang organisasi nonpemerintah untuk memberikan laporan sesuai dengan bidang kerja masing-masing. Tujuannya untuk mengimbangi laporan resmi pemerintah. Seluruh laporan ini beserta rangkumannya bisa diakses oleh negara anggota lain dan oleh umum sebelum sidang. Watch Indonesia!, Westpapua Netzwerk dan OMCT juga menyerahkan laporan bersama, di mana situasi HAM di Papua dipaparkan cukup mendalam. 3
Ini adalah kali ke tiga pelaporan Indonesia sejak pertama kalinya pada tahun 2008. Sebagian besar dari sejumlah 109 negara anggota yang hadir mengkritik pemberlakuan hukuman mati dan menuntut hukuman mati dicabut dari hukum pidana Indonesia.
Dari proses yang berlangsung nampak jelas bahwa hanya sebagian kecil negara-negara anggota yang mencermati laporan Indonesia secara serius dan mendalam. Tak satupun anggota ASEAN yang menyasar tema pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan persoalan HAM masih dianggap urusan dalam negeri, yang berdasarkan kesepakatan ASEAN tidak boleh dicampurtangani. Tak hanya itu, negara-negara Asia lain semisal India ataupun China juga bersikap sama. Tanggapan mereka sebatas penyebutan tema-tema yang tidak dianggap sensitif oleh pemerintah Indonesia, misalnya ucapan selamat atas jaminan dan pengakuan terhadap Hak Penyandang Disabilitas menjadi undang-undang nasional atau sambutan positif untuk penyusunan Rencana Aksi HAM (RANHAM) periode 2015-2019, yang hasil pelaksanaannya sesungguhnya masih belum diketahui. Meskipun demikian, sebagian negara lain tanpa ragu-ragu menyampaikan kritik terhadap permasalahan penegakan HAM di Indonesia. Beberapa tema yang banyak menyorot perhatian adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan hukuman mati. Pemerintah Indonesia didesak untuk segera melakukan moratorium pelaksanaan hukum mati sebagai langkah awal untuk penghapusan hukuman ini untuk selamanya. Oleh karena itu Indonesia direkomendasikan untuk meratifikasi Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.
2. Perlindungan hak minoritas, khususnya kelompok minoritas agama dan seksual (LGBTI). Pemerintah Indonesia diminta untuk menegakkan hukum serta menghapuskan peraturan dan perda-perda diskriminatif terkait.
3. Indonesia disarankan untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT)
4. Ratifikasi Statut Roma tentang Pengadilan Internasional, supaya pelanggaran HAM berat di Indonesia bisa diadili secara internasional.
5. Memberikan akses terhadap mekanisme HAM khusus PBB, di antaranya kunjungan pelapor khusus HAM
Dalam setiap sidang UPR rekomendasi dari negara-negara ini akan dicatat. Pemerintah Indonesia kemudian akan memutuskan, apakah menerima rekomendasi tersebut (accepted) atau menjadikannya catatan (noted). Pasca sidang sekretariat OHCHR akan mempublikasikan catatan ini beserta statusnya. Status ‘diterima’ berarti Indonesia wajib untuk menjalankan rekomendasi ini dan melaporkan perkembangannya pada sesi UPR berikutnya. 4
Dalam sidang UPR kali ini Indonesia diwakili oleh dua menteri yakni Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly serta beberapa staf ahli dan staf kementerian. Dalam sambutannya Menteri Retno Marsudi menyanjung keberhasilan perkembangan demokrasi Indonesia dengan memberikan pelaksanaan pilpres 2014 dan pilkada serentak tahun ini yang berlangsung damai sebagai contohnya.
Papua: Akses jurnalis asing dan pelangaran hak asasi manusia
Tema yang cukup sensitif bagi pemerintah Indonesia yaitu situasi hak asasi manusia di Papua menjadi tema pertama yang dibicarakan oleh menteri luar negeri dalam laporannya. Menteri Retno Marsudi menjelaskan bahwa Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus kepada Papua, yang bisa dilihat melalui kunjungan rutinnya ke Papua dan upayanya untuk mendorong dialog serta memajukan pembangunan infrastruktur. Mengenai akses jurnalis asing ke Papua, disebutkan bahwa larangan tersebut telah dicabut. Ia menjelaskan pada tahun 2015 sejumlah 39 jurnalis asing telah mengunjungi Papua, sejak 2012 terdapat 90 organisasi internasional yang bekerja di wilayah tersebut. Di sini sesungguhnya penting untuk menanyakan organisasi mana yang dimaksud? Apakah misalnya Palang Merah Internasional sudah boleh kembali aktif di Papua? Di mana data-data tentang penangkapan dan penyerangan terhadap wartawan lokal dan internasional? Lalu, mengapa pada setiap penjelasan tentang Papua selalu ditekankan bahwa kedua provinsi tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia? Sayangnya, dalam sidang UPR tidak ada kemungkinan menanggapi kembali jawaban pemerintah.
Menteri Retno Marsudi juga menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul di Papua dijamin. Ia memaparkan bahwa pada tahun 2015 terhadap setidaknya 3.000 demonstrasi di seluruh Indonesia, di antaranya 190 di Papua. Bahwa banyak dari demonstrasi tersebut yang berakhir dengan penangkapan massal tidak disebutkan sama sekali. International Coalition for Papua (ICP) melaporkan 210 penangkapan di tahun 2012, 539 di tahun 2013, 1096 di tahun 2015 dan mencapai puncaknya sejumlah 4.462 antara Januari dan Juli 2016. Sampai Desember 2016 organisasi TAPOL di London mencatat sejumlah 17 tahanan politik di Papua.
Impunitas
Terkait tema penegakan hukum dan tata pemerintahan yang baik pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa upaya untuk mengungkapkan pelanggaran HAM di masa lalu juga sedang dilakukan. Pemerintah telah melakukan penyelidikan dan mencari jalan keluar non-judisial dan mendorong rekonsiliasi. Kerja sama dilakukan dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Komnas HAM, untuk menemukan penyelesaian yang berkelanjutan dan damai. Dalam konteks ini dipaparkan juga bahwa pemerintah telah memeriksa duabelas kasus pelanggaran HAM di Papua yang terjadi dalam kurun waktu 1996-2004. Dari hasil pemeriksaan ditetapkan sebanyak tiga kasus tergolong pelanggaran HAM berat dan selebihnya adalah kasus kriminal. Tiga kasus tersebut adalah kasus Wasior, Wamena, dan Paniai. Disebutkan bahwa Kejakasaan Agung tengah mempersiapkan pengadilan HAM ad-hoc di Makassar untuk kasus Wasior dan Wamena, sedang kasus Paniai berada dalam penyelidikan Komnas HAM. Menteri Rini Marsudi menjelaskan bahwa penyelesaian kasus masa lalu merupakan tugas yang tidak mudah dan oleh karenanya pemerintah akan membentuk badan khusus. Ia mengakhiri laporannya dengan janji akan mengabari perkembangan upaya tersebut kepada negara-negara anggota dewan HAM: „We keep you posted“.
Penyiksaan
Seperti disebutkan sebelumnya, penandatanganan protokol opsional OPCAT juga menjadi salah satu rekomendasi yang sangat sering diberikan kepada Indonesia. Indonesia sesungguhnya telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) pada tahun 1998, tetapi sampai hari ini menolak untuk ikut serta menjadi negara yang menandatangani OPCAT. Penandatanganan perjanjian tambahan ini mewajibkan Indonesia untuk menerima inspeksi dari institusi independen internasional yang sewaktu-waktu dapat melakukan inspeksi di tempat-tempat penahanan. Penyiksaan sayangnya merupakan praktik yang tidak dilarang dalam hukum pidana Indonesia. Perhatian terhadap praktik kejam ini pun sangat sedikit. Bahkan Komnas HAM pun tidak mengumpulkan data tentang penyiksaan secara khusus. Sebuah laporan bersama organisasi non-pemerintah untuk UPR menyebutkan bahwa penyiksaan pada masa penyelidikan dan pemeriksaan masih menjadi hal sehari-hari dalam kasus-kasus kriminal. 5 Umumnya praktik ini dijalankan oleh polisi pada tersangka yang ditahan untuk mendapatkan pengakuan. Di Papua para tahanan politik menjadi korban penyiksaan pada saat penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan.
Undangan yang tertahan untuk Mekanisme HAM Khusus PBB
Banyak kritik berdatangan juga kepada sikap pemerintah Indonesia yang tidak memberikan peluang kepada mekanisme HAM khusus PBB untuk mengunjungi Indonesia. Sesuai dengan prosedur diplomasi, mekanisme HAM khusus PBB, termasuk pelapor khusus HAM, hanya bisa mendatangi dan menyelidiki langsung situasi HAM di sebuah negara, jika ia mendapatkan undangan dari pemerintah negara yang bersangkutan. Sejak sidang UPR pada tahun 2012 Indonesia hanya mengijinkan dua pelapor khusus PBB untuk datang ke Indonesia, yaitu pelapor khusus hak atas kesehatan dan pelapor khusus untuk tempat tinggal yang layak. Sampai saat ini sejumlah 18 prosedur khusus PBB yang hendak mengunjungi Indonesia hanya bisa gigit jari. Contohnya saja pelapor khusus untuk kebebasan beragama, yang telah mengirimkan permintaan untuk diundang sejak tahun 1996 dan telah mengingatkan setidaknya sepuluh kali akan permintaan ini, belum mendapatkan jawaban sampai hari ini. 6
Kritik: UPR sebagai sandiwara diplomasi?
Pada sidang bulan Juni Dewan HAM PBB Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Zeid Ra‘ad Al Hussein, mengecam negara-negara anggota Dewan HAM yang bersikap tidak kooperatif terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama. Secara spesifik ia memaparkan tindakan mereka yang terang-terangan menghambat mekanisme khusus HAM (special procedures) untuk menjalankan mandatnya. Al Hussein mempertanyakan ulang larangan naming and shaming (menuding dan mempermalukan) terhadap negara-negara yang melanggar HAM, melihat kenyataan saat ini banyak sekali politisi yang tanpa malu-malu melanggar hak hidup, membolehkan penyiksaan, tidak menghormati martabat manusia, bahkan memerintahkan penangkapan sewenang-wenang dan pemerkosaan. Dalam konteks tersebut ia mempertanyakan sejauh mana mekanisme UPR mampu membawa perbaikan yang nyata ataukah mekanisme ini sekedar perhelatan diplomasi yang lebih mementingkan sopan santun?
Al Hussein memberikan contoh di berbagai negara, di mana upaya menghambat kerja-kerja mekanisme khusus HAM terjadi dalam bentuk ancaman, penghinaan, dan serangan. Ia mengingatkan „menjadi penandatangan sebuah perjanjian internasional merupakan komitmen sebuah negara utamanya terhadap warganya sendiri. Mekanisme pelaporan bertujuan untuk mengidenfitikasi celah antara upaya perlindungan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk memperbaikinya. Prosedur ini bukanlah sesuatu yang bisa dipilah-pilah semaunya.“ Ia lalu menyebutkan nama-nama sejumlah 74 negara yang sudah lebih dari satu dekade pasca penandatanganan perjanjian dan ratifikasi belum melaporkan sedikitpun perkembangan penegakan HAM di negara mereka sampai hari ini. Selain melontarkan kritik, ia juga memberikan apresiasi kepada negara yang memberikan contoh yang baik, misalnya Tunisia, yang menyiarkan sidang UPR-nya di sebuah bioskop lokal yang terbuka untuk aktivis, pegawai negeri dan juga masyarakat umum. 7
Sejauh mana Indonesia, yang adalah anggota dewan HAM PBB sampai 2017, akan menganggap serius peringatan Al Hussein ini? Kita tunggu kapan pemerintah membolehkan sejumlah 21 permintaan kunjungan mekanisme HAM khusus PBB dikabulkan. We keep you posted?
1 Judul ini diterjemahkan dari laporan-laporan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika menjelaskan tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Menteri Retno Marsudi mengakhiri presentasinya dengan kalimat ‚We keep you posted‘
2 Penulis bekerja untuk organisasi Watch Indonesia!, sebuah organisasi berbasis di Berlin, Jerman, yang bertujuan mendorong pemajuan HAM, demokratisasi, dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia dan Timor Leste.
3 www.watchindonesia.org/wp-content/uploads/UPR_Submission_Indonesia_2017_WI_WPN_OMCT.pdf
4 https://www.upr-info.org/database/index.php?limit=0&f_SUR=77&f_SMR=All&order=&orderDir=ASC&orderP=true&f_Issue=All&searchReco=&resultMax=100&response=&action_type=&session=&SuRRgrp=&SuROrg=&SMRRgrp=&SMROrg=&pledges=RecoOnly
5 Laporan KontraS dan AJAR: https://www.upr-info.org/sites/default/files/document/indonesia/session_27_-_may_2017/a_hrc_wg.6_27_idn_3_e.pdf
6 http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/SP/Pages/CountryvisitsF-M.aspx
7 Denial of access and lack of cooperation with UN bodies will not diminish scrutiny of a State’s human rights record: http://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=21687&LangID=E#sthash.Cdj46vAb.dpuf