Kisah Lelaki yang Nekat Menggebuk Presiden Suharto
VICE, 05 April 2018
https://www.vice.com/id_id/article/wj7z59/kisah-lelaki-yang-nekat-menggebuk-presiden-suharto
oleh Ardyan M. Erlangga
Tiga anak muda Timor Leste 23 tahun lalu menggalang demonstrasi nekat di Dresden, Jerman. Aksi mereka memicu kehebohan di Indonesia, sekaligus menjadi penanda senjakala rezim Orde Baru. Satu demonstran mengisahkan ulang momen itu kepada VICE.
Apa yang biasanya dilakukan seseorang saat tinggal berjarak dua langkah dari sosok yang begitu dibenci? Mendelik saja, memaki, atau bahkan sekalian menggebuk kepalanya? Luciano ‘Romano’ Valentim Conceixao memilih yang terakhir. Sikapnya emosional. Barangkali kalian menganggapnya wajar, namanya juga benci.
Perkara pukul memukul ini jadi kurang wajar karena sasarannya adalah Suharto, tokoh sentral rezim militeristis yang mencengkeram Indonesia selama 32 tahun. “Saya juga tidak merencanakannya. Tiba-tiba saja refleks memukulkan gulungan koran ke kepalanya,” kata Luciano, yang saat dihubungi VICE, sedang asyik menyeruput kopi di pinggiran Ibu Kota Dili, Timor Leste.
Inilah cerita tentang tindakan nekat lelaki muda menggebuk kepala seorang penguasa berpengaruh, di tengah demonstrasi yang kelak akan dinamai Insiden Dresden. Hari ini, 23 tahun lalu, gulungan koran menghantam belakang kepala Suharto di museum pinggiran kota industri bekas wilayah Jerman Timur. Tak cuma itu, delegasi Indonesia dipermalukan habis-habisan oleh gerombolan aktivis yang masih belia. Peristiwa yang sekarang terlupakan ini menjadi salah satu penanda senjakala rezim Orde Baru.
Bus delegasi Indonesia tiba di halaman parkir Museum Zwinger, tepat pukul 10.30, pada 5 April 1995. Presiden Suharto, beserta istrinya Siti Hartinah, didampingi menteri-menterinya seperti B.J Habibie dan Ali Alatas, berjalan menuju pintu museum. Suharto datang ke museum itu dalam rangka menyaksikan lukisan Raden Saleh, seniman kenamaan Hindia Belanda. Tur ke museum di jantung kota tua Dresden tersebut adalah rangkaian lawatan ke Jerman lebih dari sepekan, mencari potensi investasi dan mempererat hubungan kedua negara.
Jalan setapak sekira 100 meter, melewati jembatan kecil, sebelum masuk area museum. Ada belasan polisi Jerman dari Negara Bagian Sachsen mengamankan rombongan Suharto.
Nampak di gerbang Kronentor—sebutan pintu masuk gedung museum—siang itu, kerumunan nyaris 200 orang. Mayoritas anak muda warga negara Jerman. Tapi mereka sama sekali tak berniat ramah tamah bersama rombongan tamu negara. Massa itu hanya memiliki satu misi utama: mempermalukan presiden dari negara yang dianggap menjajah serta bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Timor Timur. “Demonya orang-orang Jerman waktu itu lihai. Enggak ketahuan mau ada demo. Yang kelihatan cuma turis melulu,” kata Pipit Kartawidjaja, pengelola jaringan media alternatif Watch Indonesia! yang saat terjadi demonstrasi Dresden bermukim di Jerman.
Dalam sepersekian detik, jarak 100 meter tadi berubah jadi neraka bagi delegasi Indonesia. Ratusan orang tadi menggelar demonstrasi dadakan. Belasan aktivis membentangkan spanduk kecaman terhadap kebijakan Indonesia di Timor Timur, ada yang memaki Suharto, tak sedikit pula yang mengeluarkan panci dan spatula dari tas masing-masing untuk menciptakan kegaduhan. Sebagian lagi sulit menahan diri, memilih melemparkan telur yang sudah dibawa dari rumah ke arah orang nomor satu Indonesia. Pasukan Pengaman Presiden kelabakan. Payung segera dikembangkan demi melindungi Suharto, ibu negara, dan menteri-menterinya dari terjangan telur, seperti diberitakan surat kabar Dresdner Morgenpost.
Demonstran memperlakukan rombongan Suharto, dalam keterangan beberapa saksi mata yang diceritakan ulang kepada aktivis pro-demokrasi Indonesia lainnya, “persis seperti kami di kampung mengusir ayam.”
Luciano, bersama Vitor Tavarez dan Jose Manuel—ketiganya aktivis belia kelompok pembebasan Timor Timur—ada di tengah massa demonstran. “Rekan-rekan demonstran dari Jerman itu sebelumnya sudah saya briefing sebelum sampai di museum,” ujarnya. “[Rombongan Suharto] seperti anak kecil dicemooh.”
Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin adalah pengawal Suharto saat terjadinya insiden Dresden. Sebagai komandan Paspampres Regu A kala itu, dia sebetulnya mendengar adanya rencana demonstrasi yang dimotori aktivis pembebasan Timor Leste. Namun dalam kunjungan ke Museum Zwinger, pengawal Presiden Suharto kalah jumlah dibanding demonstran.
“Aparat keamanan Jerman kaget, namun tidak berbuat apa-apa,” kenang Sjafrie, seperti dikutip dari buku Pak Harto: The Untold Stories. Rombongan Indonesia sulit bergerak maju, karena massa demonstran menghalang-halangi jalan mereka. VICE menghubungi Sjafrie untuk mendapat informasi pembanding terkait peristiwa Dresden, di luar pengakuannya melalui buku, namun belum ada balasan hingga artikel ini dilansir.
Menjelang berakhirnya hiruk pikuk di pintu masuk museum yang berlangsung nyaris setengah jam, Luciano memperoleh kesempatan sekali seumur hidup. Dia sukses menyejajari langkah Presiden Suharto. “Pasukan pengawal presiden kehilangan fokus,” kata Luciano. Jarak mereka hanya dua meter. Sjafrie menyadari bahaya itu selama berada di sisi kanan Suharto. Dia melihat satu demonstran—yakni Luciano—sudah terlalu dekat dari presiden. Namun ketika mencoba menghalau, seingat Luciano, Sjafrie justru terhalang gerak polisi Jerman.
“Tangan kiri saya memegang koran, sementara tangan satunya lagi memegang megafon,” kata Luciano. Dalam hitungan detik, Luciano tinggal sedepa saja dari Suharto. Lalu terjadilah insiden penggebukan tanpa rencana yang kesohor tadi. Gulungan koran Luciano menyambar belakang kepala Suharto. Cukup keras namun tak sampai menjatuhkan pecinya.
Luciano pasrah jika dia diseret paksa paspampres ataupun polisi setelah berbuat nekat. “Saya tahu risikonya,” ujarnya.
Rupanya tak terjadi apa-apa. Rombongan Presiden Suharto meneruskan masuk museum. Ketika Suharto berhasil masuk ke dalam gedung, satu anggota pasmpampres mendekati Luciano. Dia bisa berbahasa Tetum, bahasa asli penduduk Timor Leste. “Dia bilang kepada saya, ‘anak sudahlah, yang sudah kalian lakukan tidak perlu dilanjutkan lagi’,” kata Luciano menirukan ucapan paspampres tersebut.
Rombongan Suharto berada dalam museum selama 45 menit. Demonstran, bersama Luciano dan dua kawan aktivis Timor Leste lainnya, tetap di luar meneruskan aksi, dengan harapan bisa kembali menyergap Suharto sesudah kunjungan. Sjafrie berinsiatif memindah Suharto dan istri ke mobil biasa, lewat pintu samping. Sementara menteri dan anggota rombongan lain naik bus.
Sjafrie ingat, Suharto aman dari upaya penghadangan kedua kalinya sepulang dari museum. Nasib nahas dialami rombongan menteri yang naik bus. “Demonstran sudah menghadang [bus] dengan berbaring di tengah jalan,” kata Sjafrie.
Bus yang ditumpangi Menteri Luar Negeri Ali Alatas itu terhenti dekat sungai, lantas diguncang-guncangkan demonstran. “Kami berusaha mendorong bus mendekati sungai,” kata Luciano. Polisi Jerman datang, menghalau para pengunjuk rasa. Aksi mereka di Dresden akhirnya bubar. Dalam momen kalut itulah, salah satu demonstran merekam foto Ali Alatas mengacungkan jari tengah.
Kunjungan selingan ke museum yang seharusnya menyenangkan bagi Suharto hari itu kacau balau. Dia membatalkan jadwal menonton opera di malam harinya. Sebenarnya lawatan presiden selama di Jerman tak pernah berlangsung mulus. Berdasarkan catatan Watch Indonesia, selalu ada unjuk rasa di semua kota yang disambangi Suharto. Baik itu Hannover, Dusseldorf, maupun Dresden.
Suharto pulang ke Tanah Air pada 13 April. Di pesawat kepresidenan, di hadapan wartawan, dia menyebut demonstrasi berbagai kota di Jerman dilakukan orang-orang yang “tidak rasional, edan, dan sinting.”
Suharto menduga ada warga negara Indonesia yang menjadi provokator unjuk rasa mengajak LSM internasional. Dia menyebut mereka, “menjual bangsa.” Dalam konferensi pers itu pula, Suharto mengancam ‘gebuk’ pada lawan-lawan politik yang disebutnya menunggangi aksi Dresden.
Unjuk rasa Dresden itu makan korban. Komandan Paspampres Brigadir Jenderal TNI Jasril Jakub langsung dicopot dari jabatannya karena dianggap gagal menangkal gangguan keamanan terhadap presiden.
Tak lama kemudian, aparat menahan Sri Bintang Pamungkas, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bertepatan dengan lawatan Suharto, Sri Bintang mengisi rangkaian kuliah umum di kampus-kampus Jerman. Sri Bintang dicokok polisi beberapa menit sesudah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta. Empat bulan kemudian, dia diadili atas dugaan upaya makar.
Sri Bintang, dalam wawancara khusus dengan CNN Indonesia, merasa jadi kambing hitam sesudah insiden Dresden. “Suharto marah ketika dia pulang dari Jerman,” ujarnya. “Suharto mengira saya akan mengkudeta.”
Luciano memastikan Sri Bintang Pamungkas tak terlibat dalam insiden Dresden. “Kami melakukan kontak dengan mantan aktivis Jerman timur untuk bisa melakukan demonstrasi. Tidak ada sama sekali komunitas orang Indonesia di Jerman yang terlibat,” ujarnya.
Sri Bintang dalam persidangan berhasil mendatangkan saksi-saksi meringankan. Namun jaksa tetap menjeratnya dengan pasal makar, lantaran saat ceramah di Hannover menyebut pemerintahan Suharto tidak demokratis. Sri Bintang divonis penjara dua tahun 10 bulan. Baru pada 2006, setelah mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, dia dinyatakan tak bersalah atas tuduhan makar dan menggalang demonstrasi di Dresden.
Luciano lahir 44 tahun lalu di Irara, berjarak 248 kilometer dari Ibu Kota Dili, Timor Leste. Usianya belum genap dua tahun ketika militer Indonesia melancarkan invasi ke Timor Timur. Suharto mengirim tentara dengan dalih menuruti permintaan Perkumpulan Kerakyatan Demokratis Timor (Apodeti) yang pada 1974 menginginkan integrasi bekas koloni Portugal itu dengan Indonesia. Tak semua elemen politik Timor Leste sepakat. FRETILIN, salah satu kekuatan politik besar lainnya, menginginkan kemerdekaan.
Dalam pertempuran tak seimbang yang dikenang sebagai Operasi Seroja, militer Indonesia menghabisi para pendukung FRETILIN dalam hitungan bulan. Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Republik Indonesia. Selama 27 tahun pendudukan Indonesia, diperkirakan 180 ribu warga sipil Timor Timur tewas. Sebanyak 19 ribu orang di antaranya menjadi korban pembantaian sistematis ataupun dihilangkan paksa.
Orang tua Luciano termasuk pendukung FRETILIN. Dia dibawa lari ke hutan di perbukitan dekat Los Palos, kota berjarak 1,4 kilometer dari kampungnya. Luciano kecil makan seadanya selama di hutan, belajar bertahan hidup. Empat tahun setelah operasi besar-besaran pada 1975, ayah-ibu Luciano terbunuh dalam penyergapan di hutan. “Orang tua saya tewas bersama dengan banyak keluarga lainnya dari kampung,” ujarnya.
Luciano kecil lantas diasuh oleh saudara dekat. Dia mendendam pada Republik Indonesia. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk berjuang,” ujarnya. Dia bersekolah di Dili, masuk sekolah yang saat itu dikelola pemerintah Indonesia. Selama sekolah dasar hingga kuliah, Luciano bergabung dengan sel FRETILIN. Dia masuk perguruan tinggi di Jakarta Timur, tinggal bertahun-tahun di kawasan Kampung Melayu. Pada 1994, Luciano bersama 28 mahasiswa lain terlibat dalam pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta saat berlangsung lawatan Presiden Bill Clinton. Demonstran mengampanyekan pembebasan Timor Timur sekaligus menuntut Amerika menekan Indonesia agar bertanggung jawab atas pembantaian massal yang dilakukan tentara terhadap warga sipil di Santa Cruz pada 1991.
Akibat aksi nekat di Kedubes AS, Luciano dan tiga kawan lainnya diburu aparat. Mereka mendapat suaka dari Portugal akhir 1994. Sebulan sebelum rombongan Suharto melawat ke Jerman, Luciano berangkat dari Lisbon menuju Dresden memakai bendera organisasi pemuda Timor und Kein Trupp.
Selain menjalin kontak dengan aktivis pelajar Jerman, tiga anak muda Timor Leste itu sekaligus mendatangi parlemen Dresden dan kepolisian setempat. Hasil lobi itulah, seperti dilaporkan Watch Indonesia, menghasilkan sikap parlemen kota pada 30 Maret yang menyatakan rombongan Suharto “tidak diterima di Dresden.”
Dukungan dari polisi jugalah yang membuat demonstrasi di Museum Zwinger berlangsung tanpa hambatan. “Walikota Dresden dan kepala polisi setempat menyatakan, ‘kalian kami lindungi agar bisa mendekati rombongan presiden Indonesia,” kenang Luciano.
Sisanya adalah sejarah.
Insiden Dresden memiliki makna simbolis kuat, menurut Made Supriatma, peneliti independen sekaligus mahasiswa doktoral yang kini bermukim di Amerika Serikat. Made, pada saat terjadinya demonstrasi Dresden masih berstatus mahasiswa dan aktivis oposisi Orde Baru di Yogyakarta, ingat betul ada kemarahan tak biasa dari respons Suharto setelah kena gebuk demonstran. Orang kuat Orde Baru itu untuk pertama kalinya mengucapkan diksi “gebuk” secara terbuka di hadapan pers Indonesia yang mengikutinya ke Jerman.
Suharto secara simbolis memosisikan dirinya sebagai raja Jawa di era modern. Bagi raja, kepala—dibahasakan sebagai prabu—adalah harta tak ternilai. Tindakan nekat Luciano, menurut Made, adalah penghinaan terbesar. “Seorang raja Jawa itu tahunya kalau ada yang mengganggu akan saya sikat,” kata Made kepada VICE.
Kabar insiden Dresden segera sampai ke telinga aktivis pro-demokrasi di Indonesia kurang dari 12 jam setelah kejadian. Info tersebar, kombinasi kesaksian WNI di Jerman maupun pemberitaan setempat, berkat jaringan email (milis) macam apakabar.net. Berbeda dari demonstrasi lainnya, insiden Dresden seingat Made memicu ketakutan sekaligus kegairahan besar bagi aktivis anti Orde Baru. Sebab, untuk pertama kalinya Suharto marah secara terbuka. Di sisi lain, sikap Suharto yang emosional justru ditafsirkan sebagai tanda rezim mulai melemah.
“Reaksi dia pertama kali setelah kena gebuk di Dresden justru tidak menghantam Timor Leste, padahal kalau dia marah, bisa saja waktu itu yang pertama kali dia lakukan ketika merasa dihina adalah membom [Timor Leste]. Tapi itu tidak dia lakukan,” ungkap Made. “Untuk pertama kali Suharto mengancam orang yang tidak dia sukai, dan ngomong terbuka lewat media. Itu membuat kita semua bertanya-tanya.”
Rezim Orde Baru sebelumnya berhasil memadamkan upaya ‘pemberontakan’ dari berbagai kalangan, baik itu Islamis hingga yang prodemokrasi. Rezim militeristis itu juga sukses melakukan pelanggaran HAM berat, lewat tragedi Talangsari atau pembantaian umat muslim di Tanjung Priok, tanpa adanya tekanan internasional. Berkat aksi nekat Luciano dkk, yang berhasil mempermalukan sedemikian rupa Suharto tapi tak memicu balasan serius, para aktivis di dalam negeri sadar soliditas rezim mulai melemah. “Saya ingat, pada 1995 itu, saya berdiskusi dengan kawan mahasiswa lain. Kami berpikir, ‘wah kalau [aktivis Timor Leste] bisa, berarti ini peluang,” kata Made.
Dresden terjadi berselang setahun setelah pembredelan tiga media massa oleh rezim yang mengkritik pembelian kapal bekas dari Jerman. Kasak-kusuk mulai menyebar dari pembredelan tersebut, menurut Made, karena keinginan menutup media-media yang kritis hanya datang dari satu faksi militer. Artinya tentara tak sepenuhnya solid mendukung Suharto. Ketidakpuasan masyarakat atas sensor dan pengekangan pendapat oleh aparat negara semakin terakumulasi.
Para aktivis di Dresden yang mengusung isu pembebasan Timor Leste menjadi katup pertama yang terbuka, karena isu ini mendapat dukungan luas internasional. Invasi pada 1974-1975 adalah “kerikil diplomasi” Indonesia. Komisi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut kebijakan Suharto mengirim tentara dan menjadikan Timor Leste provinsi baru sebagai “aneksasi.” Militer maupun diplomat Indonesia waktu itu tak sanggup menampik citra sebagai pelanggar hak asasi.
“Posisi Indonesia di Timor Leste saat itu tentara pendudukan. Susah, karena anda bisa memenangkan pertempuran tapi tidak bisa menang perang. Lihat saja Amerika Serikat di Vietnam, atau di Afghanistan,” kata Made.Kepercayaan diri aktivis prodemokrasi makin menguat berkat kesuksesan demonstrasi Dresden. Setelah mendengar kabar dari Dresden, Made ingat anggota Partai Demokrasi Indonesia, dipimpin Megawati Soekarnoputri, bertambah berani mengkritik Orde Baru. Pada 1996 kantor pusat PDI diserang tentara, berujung pada kerusuhan di berbagai wilayah Jakarta. Lima orang tewas, ratusan lainnya luka-luka. Insiden ini kelak disebut Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau Kudatuli.
“Dampak [Insiden Dresden] awalnya lebih terasa di aktivis, menjalar ke berbagai lapisan lain. Dari intelektual, aktivis, wartawan, akademisi, terus kemudian lapisan kedua orang-orang lama partai,” kata Made. Para aktivis semakin percaya bila rezim sudah mendekati senjakalanya. Keyakinan mereka terbukti. Orde Baru tumbang secara simbolis, setelah Suharto mundur pada 21 Mei 1998. Hanya tiga tahun sesudah terjadinya demonstrasi yang digalang anak-anak muda di Dresden.
Kemerdekaan itu tercapai tiga tahun dari jajak pendapat bersejarah 1999—ketika 78,5 persen penduduk Timor Timur memilih berpisah dari Republik Indonesia. Setelah cita-cita perjuangan tercapai, Luciano tinggal di Dili bersama istri dan tiga anaknya. Hidupnya jauh lebih tenang, gemar melucu, dan seringkali tertawa saat ngobrol bersama VICE. Namun takdir membuatnya terus menjadi oposisi penguasa, bahkan setelah Timor Leste resmi merdeka. Luciano mendirikan partai dan menjadi lawan politik Presiden Fransisco Guterres yang kini berkuasa dari Partai FRETILIN.
Sesudah Timor Leste merdeka, Luciano sempat bertemu mendiang Ali Alatas di Ibu Kota Colombo, Sri Lanka, pada 2004. Diplomat kesohor Indonesia yang di Dresden nyaris dia gulingkan masuk sungai. Tak lagi ada ketegangan di antara keduanya. “Kami ketemu di bandara, saling menyapa.”
Luciano tidak menyangka tindakan nekatnya di Dresden dulu akan memicu rentetan peristiwa besar lain yang mengubah Indonesia selama-lamanya. Luciano mengaku tidak bangga dengan keberhasilannya mempermalukan rombongan Suharto. Itu baginya hanya kemenangan kecil yang tak berarti. “Puluhan ribu saudara sebangsa saya dibantai militer Indonesia,” ujarnya. “Tapi itulah harga yang harus dibayar. Di dunia ini tidak ada kemerdekaan gratis. Kita harus berjuang.”